Saturday, May 31, 2008

Brebek Goceng

Bukannya Brebek goceng (bebek harganya 500 ?? atau 500 bebek ?) sih tapi bebek goreng.. nha aku ini sama adikku mencari makanan di luar.. bukannya cari makan dengan mengais-ngais nasi di pinggir jalan lho.. tapi aku makannya di pinggir jalan kukira sama aja dink ! gini.. kemarin aku pergi ke sebuah warung makan deket UGM [Universitas Gadjah Mada] di jalan kaliurang tu.. nha disitu kami menemukan sebuah warung makan yang tertulis “bebek goreng” sebut aja nama warung makannya adalah “Lesehan Pratami” bukan nama yang sebenarnya sih.. tapi nyerempet dikit.. pesan : = bebek goreng 2, nasi putih 2, es teh 2. setelah menunggu beberapa saat, datanglah dia bersama kawannya (maksudnya bebek 2, nasi2, dll.) nha alangkah terkejutnya aku dihidangkan bebek mati ! (ya iyalah.. masa bebek hidup dihidangkan?) dan bebeknya cuma sebesar telapak tangan adikku yang kecil.. ih... kecil banget bebeknya.. lantas kataku kepada penjual : “ini dagingnya mana ya?” yang jawab malah adikku : “hus kakak” untungnya ga kedengaran penjualnya.. tapi raut muka penjualnya seperti biasanya (gak pake topeng alias ketauan muka aslinya yang..... maaf ... jelek) mungkin kedengaran gitu.. tapi ga apa sih.. kritik tidak membangun. Dagingnya mana ? sumpah... (kupikir selama dipelihara.. makan apa sih ni bebek? Makan tanah kale.. pantesan bau tanah..) ya adanya kulitnya aja.. ya udah dengan terpaksa aku makan make tu kulit bebek. (rasanya benar-benar mengais-ngais) gak puas dengan itu adikku memesan ayam goreng.. nha ayam goreng yang dipesan beda jauh bentuknya dan enaknya.. 99% lebih enak daripada yang tadi (yang tadi enaknya cuma 1%) dan lebih besar. Nha ini baru yang namanya makan ujarku ! Belum lama setelah aku menghabiskan ayam datang seorang pendoa. Datang di depanku dan menyodorkan gelas bekas aqua. Adikku memberinya uang dan ia mengucapkan terimakasih serta berdoa... semoga kalian langgeng (awet) dll. (Ih emangnya pacaran? Ga sih... mungkin keluargaku langgeng dan tidak tercerai berai). N kujawab dengan sebutan Amin.
Lalu pergilah orang itu... beberapa menit sesudah itu, datanglah pengamen lain yang membawa gitar jreeennkkk... misi mas! Mbak! Lalu ia menyanyi dengan suara Flash (bukan fales).. sesudah menyanyi dengan suaranya yang lantang dan membosankan tentunya, dia meyodorkan sebuah tempat minum berwarna ungu yang terbuat dari bahan plastik. Ya terpaksa diberi uang lagi... Aku berkata kepada adikku.. dik udah yuk... kita pergi.. “kenapa?” ujar adikku. Itu lho.. ada pengamen lagi... ih.. rese banget.... lalu kami membayar biaya makan tersebut. Uih.. mahal untuk hal semurah itu.. aku inget... mendingan minta ibuku makan aja.. diluar mahal.. ga enak.. di rumah gratis dan rasanya jauh lebih enak dari pada yang tadi.. ih nyesel!! [Tips : Jika mau makan di sebuah warung makan, tanya dulu penjualnya apakah makanannya enak atau tidak, kalo enak lagi beli, kalo gak enak gak usah beli]

1 comment:

Eyank Progo said...

Salam. Ceritanya lumayan lancar, menarik, dan sedikit metropolis. Sekedar usul, bagaimana kalau ceritanya ditata biar ada perkembangan alur sehingga pembaca bisa merasakan dinamika pengalaman tersebut, ada prolog, ada ketengangan, ada konflik, dan ada solusi yang bisa dipakai buat berkaca para pembaca.